Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Minggu, 8 Februari 2009
Hari itu aku duduk sendiri
Malam-malam lampu dimatikan
Mata terpejam pekat menerkam
Yang tersisa tinggal bunyi-bunyian
Datang dari si gila Zappa
Lalu cahaya itu datang
Membingkai pekatku segi empat
Setiap gebuk drum ada ledakan gemintang di sana
Ya, ya, disana
Kau tidak akan melihatnya
Raungan gitar mengilatkan cahaya
Tipis
di sudut kiri bawah
Betotan bas melahirkan kunang-kunang
Terbang melayang terbebas tanpa berkedip
Beethoven sekarang ambil bagian
Memainkan simfoni nomor sembilan
Jayalah ia sang mahakarya
Memainkan Ode a La Allegria
Dari bintang ia turun ke bumi
Mencari tempat yang pas untuk melihat angkasa
Angkasa angkasa dimanakah kamu
Aku disini mencari kebermaknaan dari hal-ikhwal
Dahulu mungkin semuanya satu
Tapi pikiran membelah semuanya
Menjadi lemah dan terpecah
Maka biarkan aku meleburkannya kembali
Menjadi cinta dan rindu yang tak bernama
Tubuhku bergetar hebat
Lalu jatuh lunglai dalam kegilaan yang nikmat
Wah, ending-nya klimaks.
ReplyDelete