Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Pada suatu dini hari aku terjaga. Di rumahku. Ada teman-teman menginap, tiga orang, mereka terlelap. Suasana saat itu sangat tenang. Bukan karena jam segitu memang jam-jam sepi, tapi ini perkara batin yang tenang. Aku merasakan rumah seperti di masa aku kecil. Damai. Aku merenung dalam-dalam, memikirkan peristiwa yang belakangan terjadi. Tak ada perasaan yang terlalu menggelisahkan. Semuanya itu datang dan pergi . And when I awoke I was alone This bird had flown So I lit a fire Isn't it good Norwegian wood? Perpisahan dengan apapun memang sulit, tapi juga sekaligus simpel. Karena semua itu niscaya. Cepat atau lambat akan terjadi. Kita hanya berusaha sekuat tenaga agar perpisahan berlangsung pada momen yang pas, pada saat kita siap, pada saat kita pikir "sudah waktunya". Tapi hidup tak berjalan sesederhana itu. Perpisahan seringkali tak peduli "momen yang pas". Seringkali cara-caranya begitu kasar, merenggut begitu saja, ketika kita sedang t...