Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Di suasana lebaran seperti sekarang ini, tidak semua orang menjadikan hal tersebut sebagai suatu momen yang seratus persen menyenangkan. Mungkin menyenangkan bagi mereka yang, tentu saja, puasanya tamat, dan selain itu pula, punya kehidupan sosial yang dapat dikatakan bagus dalam takaran masyarakat pada umumnya. Masyarakat pada umumnya itu, ya, mereka yang menganggap bahwa ukuran kepatutan hidup adalah sekolah yang tinggi, punya mobil dan rumah, pekerjaan yang bagus dan tentu saja: menikah – dan dilanjutkan dengan: punya anak -. Pada orang-orang yang sudah mencapai hal-hal itu, maka lebaran dan bertemu keluarga serta kerabat tidak harus menjadi momok yang menakutkan. Bahkan momen lebaran bisa digunakan untuk pamer dan membangga-banggakan diri. Sebaliknya, bagi mereka yang belum memenuhi kriteria sosial semacam itu, momen lebaran, tepatnya ketika kumpul bersama keluarga dan kerabat, adalah momen yang penuh penghakiman. Pertanyaan-pertanyaan tentang sekolah, harta, pekerjaan, hingga...