Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Sebulan lalu, Papap wafat. Hanya tepat beberapa jam setelah saya menuliskan tulisan berjudul Selisih . Entah pertanda atau bukan, tapi saya menuliskan Selisih dalam keadaan galau, seperti membayangkan kematian dan imajinasi historis yang timbul daripadanya. Peran Papap bagi saya terlalu mendalam, sehingga menuliskan hal-hal seperti ini sangat saya hindari supaya tidak terlampau baper, membuat hari-hari menjadi gloomy . Namun rasanya perlu dituliskan juga, supaya berjarak, supaya renungan-renungan tentang Papap menjadi teks, menjadi suatu monumen yang bisa saya baca lagi, orang lain juga baca, dan menjadi perasaan yang mungkin relate bagi lebih banyak orang. Supaya tidak terlalu sedih, untuk sementara ini saya hanya akan menuliskan bagian pengalaman saya bersama Papap saat awal-awal belajar filsafat. Waktu itu sekitar tahun 2006 atau 2007, saya mulai rajin mengikuti kelas Extension Course Filsafat UNPAR yang sering diisi oleh Prof. Bambang Sugiharto. Setiap pulang dari sesi kelas ...