Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Waktu awal-awal mulai rajin berkarya, entah sejak berapa tahun silam, dalam bentuk apapun, bisa tulisan ataupun musik, saya berpikir bahwa dapur harus ngebul dulu, baru bisa memikirkan karya. Tiada logika (dan estetika) tanpa logistik, begitu ungkapan lucu-lucuannya. Artinya, saya bisa mengerjakan apapun, yang tidak ada hubungannya dengan gairah, impian, dan cita-cita, selama menghasilkan cukup uang, mengenyangkan perut, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan setelah itu semua terjadi, baru bisa mengerjakan apa yang menjadi gairah, impian, dan cita-cita. Jalan semacam itu sama sekali tidak keliru, bahkan sangat masuk akal, realistis, dan membuat karya menjadi "murni", tidak dikotori pikiran macam-macam: bagaimana agar laku, terjual, disukai pasar, dan seterusnya. Kelihatannya, banyak orang lebih merasa aman dan nyaman jika menganut prinsip demikian. Dalam obrolan bersama Mas Tanto (R.E. Hartanto), perupa, sekitar tahun 2016 atau 2017, kami membicarakan topik tersebut dan ia me...