Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
(Ditulis sebagai suplemen diskusi Maca #9 tentang "Teater Naskah Adaptasi", Bandung Creative Hub, 6 Oktober 2019) Sudah lama saya merasa bahwa literatur Jepang adalah "sesuatu". Selain mahakarya Musashi dan Taiko karya Eiji Yoshikawa, yang menyuguhkan romantisme historis, Jepang juga melahirkan tulisan-tulisan gelap, absurd, psikologis dan eksistensialistik. Para penulisnya, sebut saja, Yukio Mishima, Ryonusuke Akutagawa, dan yang paling baru, Haruki Murakami. Mishima dan Murakami tentu saja menarik dan "aneh", tapi mari membahas lebih banyak tentang Akutagawa, sebagaimana topik tulisan ini yang akan membahas karyanya yang diadaptasi dengan unik oleh Zulfa Nasrulloh, seorang kawan penyair yang kemudian akan menjalani debutnya sebagai sutradara teater. Selain terpesona oleh tulisan Akutagawa yang gelap dan dalam, saya menduga Zulfa juga terinspirasi oleh sutradara film Jepang, Akira Kurosawa. Kurosawa menyutradarai film Rashomon (19...