Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Mungkin tidak ada satupun dari kita yang tidak punya cita-cita untuk mengubah kehidupan. Persoalannya adalah soal skala. Ada yang mau mengubah kehidupan dalam skala yang besar, sebesar luas dunia itu sendiri. Ada juga yang cukup di lingkup masyarakat tempat tinggalnya, mengecil ke lingkup keluarga, hingga akhirnya cukup mengubah kehidupan dengan merubah dirinya sendiri. Tapi persoalannya, apakah dunia betul-betul berubah dengan apa yang kita lakukan? Tidakkah dilihat dalam kacamata makrokosmos, sesungguhnya tidak ada signifikansi setitik pun, tentang apa yang dilakukan oleh umat manusia terhadap keseluruhan kehidupan?
Kita bisa lihat bagaimana kejahatan adalah sasaran abadi yang selalu menarik untuk dihabisi dari sejak permulaan dunia. Tapi sehebat apapun mereka para pembasmi kejahatan bekerja, kejahatan itu sendiri tetap ada seolah-olah Tuhan memang menghendakinya. Kemiskinan pun sama. Kita semua sudah mendengarkan berbagai ideologi yang terus menerus mencari model terbaik agar setiap orang sanggup memenuhi kebutuhan ekonomi dengan sebaik-baiknya mulai dari kapitalisme, komunisme, hingga ekonomi syari'ah. Tapi kemiskinan tidak terhapuskan dan mungkin tidak akan pernah.
Di samping itu, kita lihat manusia selalu mencari model kebenaran. Katanya ada agama, filsafat, sains, dan seni sebagai empat pilar yang membangun peradaban sekaligus juga empat dimensi dalam kita mendekati yang hakiki. Keempatnya kadang saling melengkapi, tapi seringnya malah bergulat tanpa henti. Kita menemukan bahwa model kebenaran adalah sesuatu yang lentur, dinamis, dan sekaligus juga licin. Beberapa dari kita terbantu olehnya, tapi ada juga yang malah merasa kesulitan. Merasa bahwa tak ada yang dinamakan model kebenaran, apalagi kebenaran itu sendiri.
Saya melihat sekeliling dengan lebih teliti: Pengemis, cendekiawan, seniman, pelacur, tukang kupat tahu, hingga cleaning service. Semuanya hidup dengan model kebenarannya sendiri, semua hidup dengan pandangan untuk mengubah dunia dengan caranya sendiri. Adakah dari mereka yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain? Saya tidak yakin. Mungkin juga kita dihadirkan ke dunia untuk melakukan sebuah kegiatan yang tidak mengubah apapun. Tidak ada kebenaran, kata Herman Hesse, karena lawan dari benar adalah juga sama-sama benar. Saya mengajar, menulis, dan bermain musik, untuk sebuah kebaikan bagi dunia. Tapi dunia ini tidak boleh ada hanya untuk kebaikan semata. Biarkan yang tidak baik juga bertahan agar dunia ini tetap lestari dan alami. Biarkan si bodoh ada agar si pintar dapat tetap jumawa. Biarkan si keras hati ada agar para seniman bisa berbangga diri. Karena hidup ini sungguh tidak ada apa-apa di dalamnya.
Mengubah mas bukan merubah, kata dasarnya ubah. Hehehe.
ReplyDelete