Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2013

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Guru Kecil

Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa hidup ini jauh lebih membahagiakan  Jika kamu tak punya apa-apa Atau setidaknya hanya punya keinginan-keinginan sederhana saja Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa kata-kata cinta tidak punya arti sama sekali Cinta adalah tentang merawat dan membesarkan Lewat tindakan sekaligus lewat diam Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa eksistensi manusia itu sungguh menyedihkan Lahir dan mati keduanya ditopang air mata Tapi kamu bisa menemukan kebahagiaan kecil yang sanggup menghapus segala duka Seperti menyaksikan sang bayi belajar mengisap puting ibunda untuk kali pertama   Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa ada perbedaan tipis Antara menyelamatkan seluruh umat manusia Dengan mengganti popok ketika dia pipis

Setengah Kata, Setengah Makna

Tadi pagi saya iseng membongkar rak buku untuk menemukan bacaan-bacaan yang sekiranya menyejukkan. Kemudian saya menemukan koleksi buku-buku Gibran yang lama, yang salah satunya berjudul Pasir dan Buih . Buku itu tipis sekali hanya 85 halaman dan ukurannya kecil. Isinya adalah semacam aforisme dari Gibran, seorang penyair asal Lebanon kelahiran 1883, tentang segala renungan mengenai kehidupan. Saya membaca kembali satu per satu dengan teliti setelah lama tidak menyentuh buku tersebut. Ternyata iya, ada beberapa aforisme yang dulu tidak saya mengerti sekarang jadi mengerti (tapi yang dimaksud dengan "mengerti" tentu saja dalam batas pemahaman saya hari ini, sepuluh tahun lagi saya baca aforisme tersebut mungkin akan sadar bahwa dahulu itu saya sebenarnya belum mengerti). Saya tuliskan disini contoh salah satunya: Setengah tuturku tanpa makna; namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi mencapai dirimu Untuk mengetahui bagaimana saya bisa "mengerti" aforisme ...

Mencari Mandela di Tengah Dunia yang Reaksioner

Di jagad Twitter, ada seseorang dengan nama akun @hafidz_ary yang barangkali bisa menjadi representasi xenophobia kontemporer. Ia menganggap orang di luar dirinya semisal orang non-muslim, orang Barat, orang sekuler, orang liberal, hingga orang yang bukan dari partai PKS, sebagai “orang asing”. Sebagaimana modus seorang xenophobic sejak ribuan tahun silam, ia berusaha rasional dalam melandasi setiap kebenciannya pada yang liyan . Namun dalam diri seorang xenophobic terang saja kerap ada cara berpikir yang sesungguhnya “melompat terlalu jauh”. Misalnya, sebuah kasus korupsi yang melanda partai non-PKS ia anggap sebagai “kegagalan kaum sekuler dalam mengurus negeri”, runtuhnya Presiden Mursi di Mesir ia anggap sebagai “Perang Agama”, dan perjuangan pahlawan Nusantara dalam melawan Belanda ia sebut sebagai “Islam vs Kristen”. Rasisme sering dianggap sebagai bagian dari xenophobia tapi dalam konteks yang lebih spesifik yakni ras. Namun apa yang dimaksud sebagai “ras” ini juga pada a...