Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Akechi Mitsuhide dan Raja-Filsuf Platonis

Dalam bukunya yang berjudul The Republic, Plato menulis tentang konsep raja-filsuf. Konsep tersebut kurang lebih berarti: Seorang filsuf seyogianya menjadi raja. Dan seorang raja, ia harus sanggup menjadi filsuf.

Definisi "filsuf" ini tentu saja paling mengundang perdebatan. Karena kenyataannya, mereka yang menjadi pemimpin seringkali mencitrakan dirinya sebagai cendekiawan. Tidak perlu dibahas bagaimana para politisi di Indonesia sangat senang berburu gelar akademik untuk mendapatkan suatu posisi penting di ruang lingkup kekuasaan. Gelar Magister dan Doktor menjadi "syarat wajib" agar pencitraannya terlihat seolah-olah ia memenuhi konsep raja-filsuf Platonis. Namun apakah filsuf identik dengan kepintaran? Tentu saja, berdasarkan arti katanya saja, tidak. Filsuf berarti orang yang mencintai kebijaksanaan (hal yang mana akan menimbulkan perdebatan lagi tentang apa itu kebijaksanaan!). Plato barangkali hendak berbicara tentang raja yang memahami segala sesuatu, dan bertindak dengan adil - bijaksana berdasar pada pertimbangan rasional: "[A] true pilot must of necessity pay attention to the seasons, the heavens, the stars, the winds, and everything proper to the craft if he is really to rule a ship"  

Meski sekilas tampak klise, namun tipe kepemimpinan semacam ini tidak terlalu mudah ditemukan. Kita tahu bahwa politisi seringkali identik dengan sikap-sikap pragmatis dan melihat kekuasaan dengan kacamata kuda. Seringkali justru yang ada adalah logika sebaliknya: Kekuasaan dahulu yang diraih lewat segala cara, baru nanti citra kebijaksanaan bisa diperoleh belakangan -Ingat bagaimana kaisar Augustus meraih kekuasaan lewat pertumpahan darah, setelah itu di mana-mana ia membuat patung tentang bagaimana dirinya dicitrakan sebagai negarawan yang dipenuhi rasa damai. Ingat juga bagaimana Mao Zedong, di balik poster-posternya yang menggambarkan ia sangat menyayangi anak-anak, ternyata sedang terjadi Revolusi Kebudayaan yang membumihanguskan jutaan rakyat sendiri atas nama ideologi-.

Saya sempat setuju sepenuhnya tentang bagaimana orang intelek dan bijaksana seyogianya menjadi pemimpin alih-alih mereka yang bersikap praktis tanpa perhitungan. Namun ternyata saya akhirnya mengajukan pikir-pikir pada pemikiran Plato tersebut setelah melihat kasus Akechi Mitsuhide dalam buku Taiko karya Eiji Yoshikawa. Mitsuhide digambarkan sebagai seorang intelektual-filsuf yang mempunyai kecerdasan dan kebijaksanaan di atas rata-rata. Suatu ketika, oleh sebab perasaan sakit hati, ia menggulingkan kekuasaan Oda Nobunaga yang sebenarnya adalah junjungannya sendiri. Ia mengajak pasukannya dari marga Akechi untuk menyerang sang penguasa di pagi buta. Nobunaga, karena terpojok, memutuskan untuk melakukan seppuku. Kematian Nobunaga meniupkan wacana: Mitsuhide lah penguasa berikutnya.

Apa yang kauinginkan? Berkali-kali Mitsuhide mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya. Memimpin negeri! terngiang-ngiang di telinganya, tapi bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa mengakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan sedemikian tinggi, karena tidak memiliki ambisi maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia hanya mempunyai satu tujuan: membunuh Nobunaga. Keinginan Mitsuhide telah terpuaskan oleh kobaran api di kuil Honno, dan yang tersisa kini hanyalah nafsu tanpa keyakinan. 

"Mulai hari ini, Yang Mulia Mitsuhide merupakan penguasa seluruh negeri," para jendral Akechi berkata dengan keyakinan yang tak dimiliki Mitsuhide.

Namun junjungan yang mereka sanjung-sanjung telah berubah. Ia berbeda dalam penampilan dan watak - bahkan dalam kecerdasan.

Mitsuhide pada akhirnya tidak berdaya. Ia mengambil kesimpulan untuk dirinya sendiri bahwa ternyata kecerdasan dan kebijaksanaan saja tidak cukup untuk memerintah dan berkuasa. Ia merasa bahwa Nobunaga, junjungan yang digulingkannya, berhasil sebagai penguasa bukan semata-mata oleh kecerdasan dan kebijaksanaan, tapi kadang-kadang justru oleh sikap praktis, nekat, namun tegas. Nobunaga tidak terkenal dengan citra raja-filsuf, ia bahkan cenderung brutal dan kurang berpendidikan. Namun ada kalanya, berkaca pada pengalaman Mitsuhide, yang dibutuhkan seorang raja adalah semacam keberanian dalam bertindak. Tentu saja hal ini bukan berarti kecerdasan dan kebijaksanaan tidak diperlukan untuk menjadi seorang raja. Namun Plato luput membahas faktor-faktor lain yang lebih penting. Tanpa suatu ketegasan dan keberanian, raja-filsuf akan melempem seketika berada di pucuk kekuasaan, seperti Akechi Mitsuhide yang akhirnya terpenggal kepalanya.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...