Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
"Aku berkemah disini, berdemonstrasi, agar anak cucu saya menikmati kedamaian. Jauh dari tiran."
Kalimat di atas adalah terjemahan bebas saya dari wawancara stasiun televisi Al-Jazeera dengan seorang demonstran ketika revolusi Tunisia. Revolusi yang berlangsung selama 28 hari di akhir tahun 2010 tersebut sukses mencapai tujuannya yaitu menurunkan presiden Ben Ali dari jabatannya. Saya tertegun dengan ucapan demonstran tersebut, membawa saya pada pertanyaan penting: Masih berhargakah hidup kita sekarang, jika kita tak tahu bahwa akan ada penerus di masa datang? Masih relevankah semboyan terkenal di era barok, memento mori, rebut hari ini, padahal bagi si demonstran yang terpenting adalah memenangkan sesuatu di masa depan?
Syahdan, ada masa dimana konsep-konsep besar rajin dibicarakan, atau Lyotard menyebutnya: metanarasi. Yakni ia yang disebut sebagai Keadilan, Kedamaian, Kesetaraan, Kebahagiaan, Kesejahteraan hingga yang paling abadi: Kebenaran (semuanya dengan K besar). Dunia hari ini menistakan konsep-konsep besar itu sebagai: konstruksi. Keadilan tidak ada yang universal, yang ada partikular, menurut kaum tertentu, menurut kekuasaan, menurut para pemenang. Demikian halnya dengan K besar yang lain.
Segala K besar itu, barangkali sesungguhnya hanya ada dalam angan-angan. Tuhan memilikinya di alam sana, dan memang bukan buat dibagi-bagikan. Tapi silakan bagi kalian yang punya keinginan kuat, untuk berlomba-lomba membuat menara agar sanggup menggapainya. Menara yang sanggup dekat, kata Tuhan, bukanlah ia yang bermewah-mewahan dengan jendela-jendela pemantul sinar sang surya. Melainkan menara yang dibangun atas fondasi darah, airmata, senjata, dan hati baja. Manusia asketis, mencapai nirwana dengan menyakiti tubuhnya. Atau si demonstran tadi, mencapai Keadilan dengan cara bersusah payah berkemah, bahkan terancam mati jika sudah berhadapan dengan tentara. Masih ingat Thích Quảng Đức? Seorang bhiksu Buddha yang membakar dirinya demi Keadilan di Vietnam Selatan, yang kala itu tergerus oleh kekuasaan Ngô Đình Diệm. Itu baru Keadilan, tak terhitung banyaknya korban yang mati bahagia akibat membela Kebenaran. Kita tak akan sanggup merengkuh semua K tersebut, yang mungkin adalah membangun fondasi kokoh dan mendirikan menara yang agak-agak mendekatinya. Menara kerinduan.
Ada pertanyaan penting: kau mau kebahagiaan sekarang, atau menundanya hingga menjadi kebahagiaan yang lebih besar nantinya? Socrates, sang pemuja kebahagiaan sebagai etiket tertinggi manusia akan menjawab yang kedua. Tapi dengan gaya dialektika mari kita tambahkan pertanyaan: Kau mau menundanya, sampai kapan? Si demonstran akan menjawab, hingga tiba anak cucuku nanti. Gibran menambahkan: Ketika kau yang di barisan depan terantuk batu, maka kau sesungguhnya memberitahu pada yang di belakang tentang bahaya di hadapan.
Aku merindukanmu, anak cucuku. Teruskanlah pembangunan menara ini hingga mencapai yang hakiki. Aku sudah membeton fondasinya, agar suatu hari menara ini cukup kuat untuk menopang teriakan Eureka-mu.
Kalimat di atas adalah terjemahan bebas saya dari wawancara stasiun televisi Al-Jazeera dengan seorang demonstran ketika revolusi Tunisia. Revolusi yang berlangsung selama 28 hari di akhir tahun 2010 tersebut sukses mencapai tujuannya yaitu menurunkan presiden Ben Ali dari jabatannya. Saya tertegun dengan ucapan demonstran tersebut, membawa saya pada pertanyaan penting: Masih berhargakah hidup kita sekarang, jika kita tak tahu bahwa akan ada penerus di masa datang? Masih relevankah semboyan terkenal di era barok, memento mori, rebut hari ini, padahal bagi si demonstran yang terpenting adalah memenangkan sesuatu di masa depan?
Syahdan, ada masa dimana konsep-konsep besar rajin dibicarakan, atau Lyotard menyebutnya: metanarasi. Yakni ia yang disebut sebagai Keadilan, Kedamaian, Kesetaraan, Kebahagiaan, Kesejahteraan hingga yang paling abadi: Kebenaran (semuanya dengan K besar). Dunia hari ini menistakan konsep-konsep besar itu sebagai: konstruksi. Keadilan tidak ada yang universal, yang ada partikular, menurut kaum tertentu, menurut kekuasaan, menurut para pemenang. Demikian halnya dengan K besar yang lain.
Segala K besar itu, barangkali sesungguhnya hanya ada dalam angan-angan. Tuhan memilikinya di alam sana, dan memang bukan buat dibagi-bagikan. Tapi silakan bagi kalian yang punya keinginan kuat, untuk berlomba-lomba membuat menara agar sanggup menggapainya. Menara yang sanggup dekat, kata Tuhan, bukanlah ia yang bermewah-mewahan dengan jendela-jendela pemantul sinar sang surya. Melainkan menara yang dibangun atas fondasi darah, airmata, senjata, dan hati baja. Manusia asketis, mencapai nirwana dengan menyakiti tubuhnya. Atau si demonstran tadi, mencapai Keadilan dengan cara bersusah payah berkemah, bahkan terancam mati jika sudah berhadapan dengan tentara. Masih ingat Thích Quảng Đức? Seorang bhiksu Buddha yang membakar dirinya demi Keadilan di Vietnam Selatan, yang kala itu tergerus oleh kekuasaan Ngô Đình Diệm. Itu baru Keadilan, tak terhitung banyaknya korban yang mati bahagia akibat membela Kebenaran. Kita tak akan sanggup merengkuh semua K tersebut, yang mungkin adalah membangun fondasi kokoh dan mendirikan menara yang agak-agak mendekatinya. Menara kerinduan.
Ada pertanyaan penting: kau mau kebahagiaan sekarang, atau menundanya hingga menjadi kebahagiaan yang lebih besar nantinya? Socrates, sang pemuja kebahagiaan sebagai etiket tertinggi manusia akan menjawab yang kedua. Tapi dengan gaya dialektika mari kita tambahkan pertanyaan: Kau mau menundanya, sampai kapan? Si demonstran akan menjawab, hingga tiba anak cucuku nanti. Gibran menambahkan: Ketika kau yang di barisan depan terantuk batu, maka kau sesungguhnya memberitahu pada yang di belakang tentang bahaya di hadapan.
Aku merindukanmu, anak cucuku. Teruskanlah pembangunan menara ini hingga mencapai yang hakiki. Aku sudah membeton fondasinya, agar suatu hari menara ini cukup kuat untuk menopang teriakan Eureka-mu.
Comments
Post a Comment