Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Tanda tangan Pablo Picasso, diambil dari sini Bayangkan bayangkan, sebuah dunia tanpa tandatangan. Barangkali tiada yang dinamakan seniman. Semua membuat barang bersama, semua bermain musik bersama (sekaligus menciptanya), semua menyanyi samasama. Lalu entah kesadaran darimana (kemungkinan Renaissans), manusia menganggap dirinya unik dan berbeda satu sama lain. Individu tampil ke permukaan dan membuat pelbagai kepemilikan. Heidegger sempat merenungkan, bahwa dunia ini satu pada mulanya. Tapi manusia ingin mengeksploitasi semesta ini, maka itu memecah belah segalanya menjadi banyak nama dan istilah. Tiada dulu itu tanah, air, langit, pohon, waktu, atau binatang. Manusialah yang menamai, agar mudah tuk dikuasai. Seniman ada, profesi seniman maksudnya, barangkali karena telah dikenal yang namanya tandatangan. Ketika dalam sebuah karya diguratkan goresan tangan (yang katanya menunjukkan keunikan yang tak mungkin disamai manusia satu dan lainnya), maka si karya jadi ada pemiliknya. Tandatan...