Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling . Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan. Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun per...