Skip to main content

Posts

Showing posts from 2024

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Fenomenologi Musik

Konsep musik dan konsep fenomenologi rasanya menjadi dua hal yang tidak terlalu sulit untuk dikaitkan. Lewat mendengarkan musik, emosi kita mudah sekali untuk terpantik, dan biasanya terkorelasikan dengan pengalaman tertentu. Musik menjadi fenomena itu sendiri, fenomena yang langsung hadir “menyingkapkan dirinya” dan kita, saat berhadapan dengan musik, tidak jarang untuk tampil “telanjang” - tanpa asumsi dan presuposisi -. Artinya, kita akan lebih mudah membayangkan apa itu fenomenologi dan cara bekerjanya mungkin dari bagaimana musik menampilkan dirinya pada kita. Untuk itu, kita akan membaca sejumlah versi dari fenomenologi, terutama saat mengaitkannya dengan musik, lewat para pemikir yang akan dijabarkan berikut ini.  Selayang Pandang Fenomenologi   Sebagai sebuah gerakan intelektual, fenomenologi bermula dari pemikiran Edmund Husserl (1859 – 1938). Dengan slogan “kembali pada sesuatu dalam dirinya sendiri”, Husserl melihat bahwa seluruh teori seharusnya dimulai dari analis...

Tips-Tips Menjalani Cancel Culture

Hampir delapan bulan berlalu sejak saya difitnah influencer yang membuat karir berantakan dan dibatalkan dari mana-mana. Dengan berbagai macam cara, saya bertahan sebisa-bisa, baik secara mental maupun finansial, di sepanjang sisa tahun 2024. Saya bukan tipe orang yang senang berbagi tips karena meyakini bahwa kiat yang ampuh bagi diri sendiri belum tentu berlaku sama bagi orang lain. Namun dalam rangka menghargai diri sendiri karena telah berhasil melewati masa-masa rumit ini, tak ada salahnya berbagi tentang apa yang bisa dilakukan dalam rangka menjaga kewarasan pada periode terkena cancel culture ini. Berikut sepuluh tips: 1. Pelihara hewan dan rawat tanaman. Inilah momen-momen ketika kita bisa lebih menghargai sekitar secara lebih intens dan mendalam. Hewan dan tanaman itu bisa diajak bicara, mereka merespons, hanya saja tidak persis dengan cara yang sama dengan orang-orang. Kucing saya, si Niko, tahu bahwa saya sedang sedih, maka itu dia tiap malam menemani tidur di kamar (hal ya...

Tentang Gus Miftah dan Reaksi Publik

Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling .  Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan.  Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun per...

Musik dan Filsafat Analitik

Akar dari keterkaitan antara musik dan filsafat analitik dapat ditarik ke argumen Immanuel Kant terkait keindahan yang seharusnya tidak bertujuan dan tidak berkepentingan (disinterestedness). Eduard Hanslick (1825 – 1904) seolah meneruskan pendapat Kant tersebut dalam konteks musik lewat bukunya yang berjudul On the Musically Beautiful . Hanslick menganggap bahwa musik seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk tanpa memiliki relasi dengan subjektivitas pendengarnya.  Sekilas Filsafat Analitik   Filsafat analitik sebagai sebuah aliran tersendiri, jika dilacak, memang baru dimulai di awal abad ke-20. Berkembang umumnya di kalangan pemikir Inggris seperti Bertrand Russell dan G.E. Moore, filsafat analitik menitikberatkan kajiannya pada logika formal dan matematika sebagai landasan dalam kejernihan berfilsafat. Artinya, berbeda dengan filsafat kontinental yang berpusat pada pemaknaan dan penafsiran yang berhubungan dengan historisitas dan aspek kultural, filsafat analitik m...

Apa itu Musik?

Mendefinisikan apa itu musik tidaklah sederhana kelihatannya. Mungkin dengan mudah kita akan menyebut musik pada lagu yang diputar lewat Spotify, diperdengarkan di kafe atau restoran, dan dinikmati di pertunjukan musik. Namun bagaimana dengan suara-suara di jalanan dengan berbagai bunyi klakson dan knalpotnya? Bisa jadi kita akan menyebutnya sebagai kebisingan atau noise dan itu bukanlah musik. Hanya kemudian masalah baru menjadi muncul: siapa gerangan yang menentukan mana yang musik dan mana yang kebisingan? Bukankah apa yang kita sebut sebagai musik, bisa jadi merupakan “kebisingan yang teratur”? Di sisi lain, kemungkinan besar ada orang-orang di antara kita yang begitu menikmati bunyi kebisingan jalanan atau sebaliknya, bunyi tenang di alam terbuka, yang baginya, merupakan musik.  Definisi paling sederhana tentang apa itu musik salah satunya dirumuskan di dalam buku ABC of Music (1963) yang disusun oleh Imogen Holst. Di sana, musik didefinisikan sebagai “gabungan antara melodi,...

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Menari di Dalam dan Bersama Badai

(Tulisan suplemen diskusi Relisiensi dan Eksistensialisme: Bagaimana Berselancar dalam Kekacauan Hidup? , Jumat, 25 Oktober 2024 di Makan di Tebet, Jakarta) “ Kembali bukan sebagai penakluk badai, melainkan menari di dalam dan bersama badai .” - Alex Aur Apelaby  Hal menarik dari hidup adalah kemampuannya untuk memberikan semacam penderitaan, keterpurukan, atau bencana - yang membuat kita tidak hanya merasakan kekecewaan, melainkan sampai pada mempertanyakan keseluruhan kehidupan. Kita bisa kecewa oleh banyak hal: tak kunjung mendapat pekerjaan, ditolak cinta, atau gagal dalam ujian. Namun menganggur terlalu lama, penolakan cinta yang tak berkesudahan, atau kegagalan dalam ujian berulangkali, bisa jadi membuat kita kemudian bertanya-tanya secara lebih mendalam: Apa sebenarnya yang salah? Apakah kehidupan ini adil? Apakah Tuhan adil?  Masalahnya, pertanyaan semacam itu tak ada jawabannya. Hidup diam di hadapan pertanyaan demikian. Itulah yang dimaksud Camus sebagai absurd . Ki...

Apa itu Demokrasi? (Bagian 4 dari 4)

Gagasan demokrasi penting lainnya adalah demokrasi liberal atau kerap disebut juga dengan demokrasi Barat (He, 2022). Untuk memahami demokrasi liberal, kita perlu menelusuri terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan liberalisme. Pemikiran liberalisme dapat dilacak asal-usulnya pada teks John Locke berjudul Two Treatises of Government (1689). Dalam bagian kedua ( Second Treatise ) buku tersebut, Locke menuliskan bahwa “... tiada satupun yang boleh menyakiti orang lain dalam hidupnya, kesehatannya, kebebasannya, dan kepemilikannya” (Locke, 1999).  Locke menawarkan gagasan tentang “properti” yang mengacu pada kehidupan, kebebasan, dan aset. Properti ini bukan milik negara atau raja, melainkan milik setiap individu. Jika demikian, bagaimana menentukan individu mana yang berhak atas suatu barang, kita ambil contoh saja, apel? Bukankah jika apel dibolehkan menjadi milik individu, maka setiap orang kemudian merasa berhak untuk mengambil apel dari pohon manapun yang ditemuinya? Menurut Lock...