Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Tadinya saya percaya bahwa gagasan tertentu adalah seperti apa kata Kant: mutlak, tidak bisa ditawar-tawar. Bagi Kant, kebaikan adalah kebaikan: tidak peduli apakah kebaikan tersebut akan berkonsekuensi baik atau jelek bagi yang melakukannya, seseorang tetap harus berbuat baik. Itu sebabnya, Kant menolak istilah "berbohong demi kebaikan". Berbohong adalah selalu perbuatan jahat, atas alasan apapun. Pada pokoknya, Kant berusaha meletakkan moral sebagai jangkar, tanpa terikat pada konsekuensi, tujuan, atau kepentingannya. Bagi Kant, jika moral bisa berubah-ubah tergantung hasilnya, lantas untuk apa ada moral? Namun makin kemari, pikiran dan pengalaman saya menunjukkan bahwa sebuah gagasan tidak pernah bisa berdiri sendiri dan bersifat mutlak sebagaimana dibayangkan oleh Kant. Misalnya jika seseorang mengatakan: "Berbuatlah kebaikan", maka saya punya pertanyaan lanjutan, baik terhadap apa? Baik dalam konteks apa? Baik menurut argumen siapa? Saya akan berhati-hati untu...