Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Olahraga bukan suatu kegiatan yang akrab dengan hidup saya. Meski demikian, ada masa-masa saya menyukai praktik olahraga, tepatnya sepakbola, hingga masa-masa kuliah S1 sebelum akhirnya mesti "pensiun" karena mengalami cedera serius pada lutut. Belakangan, terutama dalam dua tahun terakhir, saya mulai kembali rutin berolahraga meski kecil-kecilan lewat aerobik via instruktur di YouTube. Dulu, berolahraga punya tujuan yang ambisius, yakni ingin menjadi pemain sepakbola profesional. Sekarang, berolahraga bertujuan supaya sehat saja, memperbesar peluang untuk tetap hidup, meski belum tentu juga. Setidaknya dengan berolahraga, badan menjadi lebih segar. Olahraga yang saya lakukan sekarang, tentu memerlukan waktu luang. Saya bisa berolahraga karena ada waktu santai, meski kadang memaksakan diri juga di tengah kesibukan. Namun saya memikirkan suatu masalah keadilan: apakah mereka yang tidak punya waktu luang, kemudian menjadi tidak punya waktu berolahraga, dan maka itu menjadi sam...