Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Lelah karena sampai terminal bis Bandar Tasik Selatan pada jam enam pagi, sementara pesawat baru tinggal landas pukul enam maghrib, akhirnya kami memutuskan untuk mencari hotel transit. Katanya ada, hotel yang bayarnya jam-jaman. Memang betul, ada yang namanya Rest & Go Motel. Bayarnya per jam lima belas Ringgit atau sekitar Rp. 55.000. Kami kira ini semacam kamar konvensional dengan kasur dan ruangan yang kita semua paham. Tapi kenyataannya, yang kami tempati adalah semacam kapsul, dengan panjang sekitar tiga meter, lebar satu meter, dan tinggi satu setengah meter (saya kurang baik soal geometri, ini perkiraan saja). Di dalamnya sudah dilengkapi hal yang diperlukan manusia kontemporer yaitu sambungan listrik untuk menambah daya baterai ponsel atau laptop. Ukuran ranjang cukup untuk satu orang saja, dengan satu bantal dan satu selimut (konon kapsul besar bisa memuat dua orang). Meski kebutuhan tidur lumayan tercukupi karena berhasil terlelap satu setengah jam dari total sewa du...