Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
"I look at the world and I see absurdity all around me. People do strange things constantly, to the point that, for the most part, we manage not to see it. That's why I love coffee shops and public places – I mean, they're all out there." - David Lynch Ketika berlebaran di Jakarta kemarin, saya mencuri dua hari (dari total enam) untuk nongkrong di dua kafe di dua mal yang berbeda. Alasannya, pertama, saya harus menyelesaikan sejumlah deadline ketikan, dan menganggap bahwa kafe adalah tempat yang cocok -terutama karena ada wi-fi -. Kedua, sudah lama saya tidak ngafe. Sekalian bersantai, saya juga ingin melebur dengan aktivitas masyarakat urban (yang konsumtif). Setelah mengantri dua puluh menit di Starbucks, saya memesan Frappuccino -yang setelah melalui sedikit googling , ternyata adalah minuman khas milik Starbucks yang membuat mereka menjadi terkenal ke seluruh dunia-. "Ukuran apa?" tanya kasir. Saya jawab mantap, " Venti ." Saya memang tid...