Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Mungkin ini adalah periode terlama saya tidak menulis blog. Sepanjang bulan November, saya sama sekali tidak punya waktu (atau tidak punya ide) untuk menerbitkan posting-posting baru. Padahal, sejak punya blog lima tahun silam, saya selalu bisa mengisi minimal dua kali dalam sebulan. Jujur memang ketiadaan posting tersebut adalah karena sesuatu yang sedang saya kerjakan, dan barangkali dapat dikatakan sebagai "mimpi yang aneh". Mengapa? Begini ceritanya: Selesai menggarap buku Nasib Manusia , saya tiba-tiba bersemangat untuk menulis buku yang lain, berjudul Filsafat Komunikasi: Dari Sokrates Hingga Buddhisme Zen . Karena memang suka dan mendalami filsafat sudah sejak lama, maka bagi saya sendiri, tidak susah untuk menuliskannya. Dalam waktu hampir sebulan setengah, saya sudah merampungkan enam dari sepuluh bab yang direncanakan. Proses menulis saya tersebut ternyata tercium oleh kawan saya, seorang direktur penerbitan yang bernaung di bawah sebuah perusahaan telekomunik...