Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Sampai hari ini, ketertarikan terbesar saya masih pada bidang filsafat. Filsafat adalah hal yang tidak saya pelajari secara resmi -jika definisi resmi adalah jurusan di masa kuliah-. Akibat tidak belajar di universitas mengenai hal tersebut secara spesifik, terang saja butuh tenaga lebih untuk comot ilmu sana-sini demi meredakan dahaga yang tidak pernah habis-habis. Sumber pertama, saya mencomot ilmu filsafat dari buku-buku filsafat, tentu saja. Dengan tertatih-tatih, saya mencoba mencerna buku-buku semacam Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dan Petualangan Filsafat: Dari Sokrates ke Sartre karya T.Z. Lavine. Kedua, saya ikut kursus filsafat di Unpar dengan nama Extension Course Filsafat (ECF). Di sana, saya mengalami banyak pencerahan terutama dari paparan orang-orang yang mempunyai ethos tinggi seperti Bambang Sugiharto, Franz Magnis Suseno, dan Goenawan Mohamad. Ketiga, ini juga tidak kalah penting, adalah berbincang dengan bapak saya. Ia sepertinya sen...