Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Modernitas adalah soal kepastian. Sains dan teknologi memberikan pelbagai jaminan bahwa jika kita menjalani A maka hasilnya pasti B. Kehidupan manusia berkaitan dengan rencana-rencana ke depan yang sudah dirancang hingga puluhan tahun. Dunia ini, kata Heidegger, oleh sebab segala kepastian tersebut, mulai kehilangan kemistisan. Seperti saya misalnya, sekarang sudah mempunyai pekerjaan tetap sebagai dosen tetap. Di tempat ini, saya mendapat jaminan hingga hari tua dan jaminan kesehatan jika terjadi apa-apa. Apa yang terjadi? Perasaan yang sesungguhnya kontradiktif muncul. Di satu sisi, saya merasa hal tersebut adalah anugerah Tuhan. Di sisi lain, dengan kepastian tersebut, Tuhan justru seperti tak dibutuhkan lagi. Seperti kata Andre Yefimich Ragin dalam Ruang Inap no. 6 , "Jika manusia sudah dapat sembuh oleh pil dan obat, maka kepercayaan mereka pada agama dan filsafat terang akan menurun." Semakin dewasa juga, segala kegiatan menjadi harus punya alasan dan kegunaan. Meng...