Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Edmund Husserl (1859-1938), seorang matematikawan asal Jerman, suatu hari pernah merumuskan demikian: Bahwa dunia keilmuan masa itu, dengan segala dalil subjek-objeknya, justru telah gagal menjelaskan dunia keseharian (lebenswelt ). Ilmu positif telah gagal menjelaskan pernyataan-pernyataan personal seperti, "Hari yang sendu," "Air yang suci," "Cinta yang mendalam," hingga "Tuhan yang dekat denganku." Para saintis lupa bahwa dalam dunia keseharian, apa yang dialami oleh subjek sebagai ada, itu justru yang lebih esensial ketimbang dunia yang dikonstruksi oleh distingsi subjek-objek yang miskin. Pak Bambang pernah mencontohkan pemikiran Edmund Husserl ini dengan sangat baik. Bahwa air, bagi dunia positif dirumuskan dalam H20. Tapi fenomenologi (ilmu yang kemudian dikembangkan oleh Husserl), mengatakan bahwa sah-sah saja jika air kemudian mempunyai makna yang berbeda-beda bagi individu yang berbeda-beda pula. Air bisa sangat luas, bisa sangat perso...