Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Sekitar bulan lalu, kira-kira tanggal 28 Desember (saya ingat, karena sehari sebelum final Piala AFF), saya jalan-jalan bersama pacar dan teman-temannya di Mal FX, kawasan Sudirman, Jakarta. Sore itu kami bermaksud nonton film Gulliver's Travel. Kala berjalan menyusuri mal-menuju bioskop, saya menemukan ada tempat makan yang menarik. Namanya Foodism. Menarik karena banyak foto wajah orang terpampang di dalamnya. Yang dipajang bukan foto orang sembarangan, mereka adalah orang-orang yang akrab disebut dalam sejarah. Apa maksud restoran tersebut memasang wajah mereka, saya tidak paham. Kalau saya tanya-tanya pelayannya pun mungkin mereka geleng-geleng saja. Saya juga saat itu sudah kenyang, sehingga tidak tertarik makan di dalamnya. gambar diambil dari sini Ketidakpahaman saya akan "Mengapa mereka semua ada disana?" menggelitik saya untuk menerka-nerka saja. Dari beberapa foto di sana, tiga diantaranya adalah tokoh besar dari kalangan kiri, yakni Lenin, Marx, dan Mao. Tak pe...