Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
1 Kala Descartes bilang, binatang tak punya kesadaran : Ia cuma seonggok benda mekanik yang makan dan berjalan Maka Muhammad datang dengan untanya namanya Al-Qishwa Beliau bingung: di Madinah, semua warga menawarinya tempat berlindung Maka silakan wahai unta, carikan tempat tinggal yang baik untukku Tempat nantinya akan berdiri masjid yang disesaki orang sujud dan ruku 2 Kant berkata lantang : Baik adalah jika kau memberitahu polisi tentang kejahatan kawanmu yang bersembunyi di rumah Sartre berujar lebih tenang : Baik adalah jika kau menjadi biarawan atas pilihanmu sendiri dan bertanggungjawab atas pilihan itu Muhammad bergerak dalam diam : Baik adalah menjenguk orang sakit Meski ia rajin melemparimu dengan tahi 3 Ya Rasulullah, dewasa ini sebahagiaan kaum-mu semakin pemarah Emosian bukan kepalang Perlukah kuceritakan lagi kisah Kakek Yahudi yang netra lagi renta? : Yang memfitnahmu dengan sebutan Majnun pada orang-orang di pasar Kau datang padanya tanpa bicara Membawa makanan yang kau...