Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Jaraknya sudah dua bulan dari pertama buku berjudul Kumpulan Kalimat Demotivasi , dengan tulisan di blog ini. Saya baru sempat menuliskannya, karena "terganggu" proses jual beli buku yang cukup sibuk dan juga beberapa acara bedah buku (yang sudah dan akan berlangsung). Memang sudah sejak akhir tahun 2019, saya mulai meletupkan ide-ide tentang demotivasi, baik lewat media sosial maupun obrolan-obrolan ringan dalam konteks diskusi santai. Setelah menuliskan dan menerbitkannya ke Buruan and Co. (setelah sempat di-PHP oleh Mizan), saya merasa respons terhadap buku ini cukup baik. Penjualannya lebih baik dari buku-buku yang pernah saya tulis dan itu berlangsung dalam waktu relatif singkat. Tawaran diskusi dan bedah buku pun bermunculan - disertai review buku yang juga cukup ramai -, yang membuat saya berpikir bahwa Kumpulan Kalimat Demotivasi mungkin punya sesuatu yang "baru" untuk ditawarkan (pakai tanda kutip karena saya malu menyebut kata baru, dengan kenyataan ba...