Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
(Ditulis sebagai suplemen diskusi "Flaneur #1 - Filsafat Ngopi", 16 September 2019 di Jali Book Cafe, Karawang) “Ngopi”, “Ngopi”, dalam kultur masyarakat kita, tidak selalu tentang minum kopi dalam artian sebenarnya. Istilah “Ngopi yuk” itu bisa saja ajakan untuk minum teh, merokok, atau bahkan makan gorengan! Tapi hal yang pasti, ngopi adalah ajakan untuk menghabiskan waktu luang, bersantai, dan keluar dari suasana formil. Kata formil yang disebut terakhir tadi menarik untuk dibahas. Suasana formil adalah suasana yang serius dan baku. Untuk apa manusia menciptakan suasana formil? Mungkin, dalam suasana formil, segala sesuatu menjadi lebih kredibel dan bermartabat. Misalnya, seorang dokter, ketika menyampaikan diagnosa, tidak bisa sambil merokok dan makan gorengan. Selain kontradiktif dengan keilmuan medisnya, hal demikian juga akan menurunkan tingkat kepercayaan pasien terhadap ucapan si dokter. Atau, lainnya, seorang hakim, saat membacakan putusan, apakah etis j...