Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2019

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Tentang Toko Buku Bernama Akasa

Namanya Akasa. Toko buku ini milik kawan saya, Ucrit, Bonil, Alfi dan Widay. Hal yang menarik pertama adalah toko buku ini terletak di sebuah pasar tradisional. Memang konsep semacam ini tidak aneh-aneh amat. Di Pasar Palasari misalnya, ada blok yang khusus jual sayuran, daging, bumbu, sembako, dan semacamnya, tapi ada juga blok khusus yang menjual buku-buku saja. Tapi di Pasar Cihapit, tempat Akasa berada, sedikit berbeda. Tidak ada perbedaan blok antara buku dan non-buku. Mereka dilebur begitu saja, sehingga datang ke Akasa adalah sekaligus juga terjun ke tengah suasana pasar tradisional.  Hal menarik lain, selain menjual buku, yang khas dari Akasa adalah teh. Ini adalah anomali di tengah tren minum kopi. Akasa tidak ada kopi, hanya teh, dan hanya teh panas. Harganya pun sangat aneh, yaitu lima ribu rupiah saja dengan jumlah isi ulang tidak terbatas. Suatu hari saya berkelakar tentang harga super murah ini, "Ini bagus, karena harga tinggi cenderung menuntut pelayan...

Uang dan Nilai Keindahan

Perihal uang, kita kurang lebih bisa memahaminya jika dipertukarkan dengan sesuatu yang fungsional. Misalnya, kurang lebih kita bisa paham mengapa kopi harganya sekian, diukur dari biaya produksi, distribusi dan penyajiannya – meski dalam konteks tertentu, kopi bisa sangat mahal ketika masuk suatu pertambahan nilai yang dinamakan “gaya hidup”-.  Kita bisa mengerti mengapa sebuah mobil harganya sekian, karena misalnya, kenyamanan, dan fasilitasnya dibandingkan dengan mobil yang lain. Kebaruan juga penting, bahwasanya mobil tersebut baru keluar dari pabrik tidak lebih dari setahun terakhir dan belum pernah digunakan oleh orang lain.  Kita bisa mengerti juga kurang lebih mengapa rumah harganya sekian, karena bahan bangunan, lokasi, akses, dan nilai tanah yang memang punya kecenderungan untuk terus meningkat.  Namun bagaimana dengan keindahan?  Keindahan konon sering dikatakan sebagai sesuatu yang subjektif. Ukurannya berbeda-beda bagi setiap orang. Beda...