Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
(Ditulis sebagai pengantar kuratorial untuk pameran Aci Andryana di Sekolah Tinggi Desain Indonesia, 29 Agustus 2017) Dalam esai berjudul Cock Fight and The Balinese Male Psyche yang ditulis oleh Arthur Asa Berger pada tahun 2007, disebutkan bahwa aktivitas adu ayam di Bali tidak hanya mempunyai aspek hiburan saja. Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pertunjukkan tersebut, terdapat dimensi lain seperti sosial, religius, hingga seksualitas yang juga turut berperan. Terkait dengan yang disebutkan terakhir, dalam penelitian Berger, secara spesifik disebutkan bahwa adu ayam secara tersirat mengandung glorifikasi atas maskulinitas. Ada kebanggaan yang besar bagi pemilik ayam, ketika ayamnya dielu-elukan oleh para penonton. Pun ketika darah mulai bermuncratan dalam pertarungan, ada semacam kepuasan yang disebut Berger sebagai “orgasme psikologis”. Adu ayam dengan adu domba tentu tidak sedemikian jauh berbeda. Pada dasarnya, keduanya punya fungsi yang sama dalam menyalurkan h...