Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
"Kalau orang Betawi itu.." Entah berapa kali saya mendengar Pak Sarnadi Adam memulai kalimat dengan kata-kata itu. Meski cuma enam hari berjumpa dalam rangka pameran Asian Silk Link Art Exhibition di Guangzhou, Tiongkok, Pak Sarnadi berhasil membuat saya tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang Betawi. Siapakah Pak Sarnadi? Cukup ketik di Google nama "Sarnadi Adam" maka akan ada 3200-an entri terkait nama ini dan hampir semuanya mengaitkan beliau dengan ke-Betawi-an. Secara spesifik bahkan disebutkan bahwa Sarnadi Adam adalah seorang "pelukis Betawi", "maestro seni lukis Betawi", hingga "pelukis Betawi yang go international ". Tapi tentu, tiada yang lebih menguntungkan daripada punya kesempatan berbincang langsung dengan Pak Sarnadi selama enam hari -daripada sekadar baca-baca tentangnya di internet-. Saya jadi tahu, bahwa Pak Sarnadi pernah berambut gondrong; saya jadi tahu, bahwa setiap dua tahun sekali, Pak Sarnadi berpamer...