Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Beberapa bulan ke belakang, Kang Ammy (Ammy Kurniawan, pemain biola), mengontak saya via Whatsapp. Katanya, “Saya ingin membuat pertunjukkan rutin di kafe, tapi hanya lima belas menit saja per penampilan.” Waktu itu, saya tidak begitu menggubris ide tersebut. Apa yang bisa diharapkan dari pertunjukkan cuma lima belas menit? Tidakkah orang-orang yang datang ke sebuah kafe, berharap ada live music yang durasinya cukup panjang untuk menemani mereka berbicang-bincang sambil bersantai? Lima belas menit tentu saja terlalu pendek. Lima belas menit adalah durasi yang dibutuhkan bagi orang untuk menunggu pesanannya datang. Setelah pesanan itu datang, mereka akan bersantap kurang lebih setengah jam. Kemudian, sehabisnya hidangan, orang-orang di kafe akan mengobrol hingga lama, tergantung suasana sekitar yang mendukung. Artinya, live music yang “ideal” tentu saja tidak kurang dari satu setengah jam. Namun, Kang Ammy tetap bersikeras akan ide pertunjukkan berdurasi l...