Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Belakangan ini saya sedang sering berinteraksi dengan pemain biola bernama Ammy Kurniawan dan guru gitar jazz yang bernama Venche Manuhutu. Kang Ammy maupun Pak Venche, keduanya sudah dapat dikatakan senior dan mungkin keaktifannya untuk tampil di atas panggung sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Keduanya sekarang lebih banyak mengajar di tempatnya masing-masing dan berupaya melahirkan musisi-musisi baru. Namun ada kesibukan yang sama-sama dijalani keduanya, yang barangkali lebih rutin dari mengajar itu sendiri, yakni: Latihan. Kita punya suatu logika sederhana disini, tujuan dari latihan adalah untuk tampil, adalah untuk manggung. Terus, jika sudah jarang manggung, untuk apa latihan? Latihan yang dilakukan oleh Kang Ammy dan Pak Venche, setahu saya, juga tidak sebentar. Mereka rata-rata menghabiskan minimal dua hingga empat jam per hari untuk melenturkan jari-jari. Tapi otak dangkal saya bertanya: Tapi jika tidak untuk main, lantas untuk apa latihan? Pak Venche bahkan berkata s...