Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Suatu selasa tanggal 25 kemarin, saya diberangkatkan ke Jakarta naik travel. Jam travelnya cukup malam, yakni jam 19.45. Ada apa gerangan? Saya ternyata mesti main gitar tiga lagu, untuk sebuah kelompok telegram bernyanyi bernama Kappalettas. Dan jam mainnya tidak lazim, yakni menjelang tengah malam. Soal Kappalettas saya pernah menulis sebelumnya , namun saat itu status saya adalah "korban", sedangkan sekarang, saya terlibat dalam Kappalettas sebagai "terdakwa", atau lawannya korban apa ya? Pokoknya kamilah yang mendatangi si korban. Kappalettas ini adalah kelompok telegram bernyanyi. Jadi kau bisa memesan lagu apa saja (betul nih apa aja, Mba Niken?) untuk kemudian dikirimkan pada target yang kau inginkan. Nantinya si target akan menerima lagu darimu, beserta pesan-pesan lain jika ada, dan boleh juga dengan coklat serta bunga. Yang menarik adalah, lagu dimainkan secara live, memakai format gitar serta vokal (ada biola dan cello sebenarnya, tapi sejauh ini beberapa...