Monday, December 21, 2020
Monday, October 12, 2020
Ulas Buku: Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21
SONTAK dan Harapan Bagi Ekosistem Perbunyian di Bandung
![]() |
Poster SONTAK, diambil tanpa izin dari Facebook Page. |
Thursday, September 24, 2020
Paku dan Hal-Hal yang Tidak Perlu Kita Ketahui Tentangnya
Saturday, September 5, 2020
Jika Kata "Anjay" Dilarang ...
Beberapa hari belakangan ini, netizen dihebohkan (iya, memang hanya netizen yang sering merasa heboh, orang di luar jaringan, kelihatannya, biasa-biasa saja tuh) oleh larangan kata "anjay" yang dikeluarkan oleh Komnas PA, berdasarkan "aduan masyarakat" - yang jika ditarik, bermula dari aduan Lutfi Agizal (semacam figur publik yang saya tidak tahu karena saya kurang gaul) -. Tentu saja, kritik muncul di mana-mana, karena, mengapa ucapan harus dilarang, meski katanya kasar? Jika ditilik-tilik, apakah memang iya, kata "anjay" itu kasar? Lalu, jika larangan tersebut benar-benar diberlakukan dan sifatnya mengikat secara hukum, kira-kira apa yang bakal terjadi pada masyarakat kita?
![]() |
Gambar diambil dari sini. |
Saya tiba-tiba ingat film tahun 2010 berjudul The King's Speech yang bercerita tentang Raja George VI yang gagap. Kegagapannya ini tentu saja menjadi masalah bagi seorang raja yang harus sering bicara di hadapan publik. Apalagi, konteks Raja George VI adalah di masa Perang Dunia II, di mana ucapan-ucapan raja menjadi krusial untuk menenangkan rakyatnya. Raja George VI kemudian merekrut Lionel Logue, semacam pelatih bicara, untuk membantunya. Salah satu hal yang saya ingat dalam film itu adalah bagaimana Logue kemudian menggali masa kecil Raja George VI, untuk berusaha menemukan penyebab kegagapannya. Protokol kerajaan yang dianggap terlalu ketat adalah salah satu sumbernya. Raja George VI sebenarnya kidal, namun dipaksa untuk selalu menggunakan tangan kanan atas nama aturan kerajaan dan satu lagi, hampir sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diperbolehkan berkata kasar (karena tentu saja, dianggap tidak pantas di lingkungan kerajaan).
Logue, sebagai seorang pelatih berpengalaman, menganggap hal terakhir tersebut sebagai salah satu penyebab yang cukup krusial, sehingga dalam satu sesi, ia mempersilakan raja untuk berkata-kata kasar sepuasnya. Dalam perkembangannya, sejak raja punya sesi untuk bebas berkata kasar, gagapnya semakin lama semakin berkurang dan ia semakin percaya diri untuk berpidato (gagapnya hanya muncul sesekali saja dan tidak sering seperti sebelumnya).
Berkata kasar mungkin tidak sesederhana yang kita bayangkan, apalagi untuk langsung dilarang-larang. Psikoanalis terkemuka, Sigmund Freud, mengajukan kemungkinan adanya wilayah bawah sadar kita yang gelap, dalam, dan sangat instingtif. Wilayah bawah sadar ini, bagi Freud, mengontrol tindakan kita lebih banyak ketimbang aspek sadar kita sendiri. Setiap orang, tanpa terkecuali, punya sisi bawah sadar yang dipenuhi hasrat ini, yang bedanya adalah ini: Ada yang tersalurkan dan ada yang tidak. Tersalurkan itu kira-kira maksudnya: dapat bertindak sesuai kehendak - meski tidak dalam segala kondisi - sebagai cara untuk menyalurkan keinstingtifan yang keberadaannya tak terhindarkan. Contohnya: ada momen untuk bisa marah-marah, menangis, mengumpat, curhat, dan ekspresi jujur lainnya. Sebaliknya, tidak tersalurkan itu kira-kira adalah ketiadaan kemungkinan untuk mengekspresikan hasrat bawah sadar karena terepresi oleh keadaan. Contohnya: Berlaku terlampau dingin, kaku, dan formal, seolah-olah terlalu ekspresif itu menjadi agak memalukan.
Terjawab kemudian mengapa ada kaitan antara gagapnya Raja George VI dengan dilarangnya ia berkata kasar dari sejak kecil hingga dewasa. Ada hasrat yang tidak tersalurkan, dan menyebabkan sejumlah "keganjilan" yang mengganggu di masa dewasanya - yang oleh Freud dapat juga berupa perilaku seksual yang tidak wajar seperti senang mengintip (voyeur) atau senang mempertontokan diri (eksibisionis) -.
Maka itu, bersyukurlah mereka yang masih punya kesempatan berkata-kata seperti "anjing" di berbagai saluran. Seketika kita mengeluarkan kata tersebut, kita bukan saja sedang berkata kasar, tapi mengatakan sesuatu dari dasar batin yang terdalam, tentang kemuakan terhadap segala hal yang normatif. Mengatakan "anjing" adalah kelegaan yang membuat kita merasa hal-hal yang hasrati itu tersalurkan. Mengatakan "anjing" adalah simbol runtuhnya segala yang formal, dan menghadapkan kita pada situasi yang lebih cair, dinamis, dengan relasi personal yang lebih terbuka.
Namun kata "anjing", dalam kebudayaan tertentu, terlalu berbahaya untuk diungkapkan secara terang-terangan - mungkin karena anjing dianggap hewan yang najis juga oleh ajaran tertentu -. Dengan demikian, kata seperti "anjrit", "anjir", atau "anjay", digunakan sebagai alternatif untuk menengahi antara hasrat individual dan kebudayaan (sungguh ini suatu kecerdasan yang hakiki). Jika kata, yang sudah sengaja dibuat secara kompromistis ini, kemudian tetap dilarang, maka apakah orang-orang di Komnas PA, atau Lutfi Agizal - yang entah siapa itu -, mau bertanggungjawab dengan kemungkinan terjadinya keganjilan dalam masyarakat akibat bawah sadar yang direpresi? Lantas, memangnya, orang-orang di Komnas PA, atau Lutfi Agizal sendiri, dalam kesehariannya, selalu bersikap sesuai norma-norma yang ada, baik di panggung depan (saat berelasi secara formal) maupun panggung belakang (saat berelasi secara lebih personal)? Jika iya, saya merasa kasihan sekali! Jangan-jangan, kalian ini psikopat.
Thursday, August 20, 2020
Tentang Diharamkannya Ilmu Filsafat dan Hal-Hal yang Mesti Diingat
Hampir sebulan yang lalu, seorang kawan tiba-tiba nyolek saya di Instagram, dan menunjukkan konten di atas. Saya tertawa geli saja, karena pemikiran semacam ini tentu saja sudah lumrah. Namun lama kelamaan, tergelitik juga, dan merasa penting untuk menuliskan tentang bagaimana posisi filsafat di abad pertengahan untuk sekadar mengimbangi pendapat tersebut.
Filsafat di abad pertengahan yang dimaksud, bukanlah di Eropa (karena di Eropa masa itu, beberapa aliran filsafat juga "diharamkan", atau lebih halusnya diistilahkan dengan "philosophia ancilla theologiae" atau "filsafat adalah hamba bagi teologi"). Filsafat di abad pertengahan yang dimaksud, adalah filsafat di abad pertengahan dalam konteksnya dengan dunia Islam, yang terbentang dari sekitar abad ke-8 hingga abad ke-14 masehi.
Imam Al-Ghazali pernah menulis buku berjudul Tahafut al-Falasifah atau diartikan sebagai Kerancuan Para Filosof, yang ia tujukan bagi para filsuf sebelumnya seperti Ibn Sina dan Al-Farabi. Sekilas, memang tampak Al-Ghazali sedang berusaha "mengharamkan" filsafat lewat bukunya tersebut, sehingga ini kerap dijadikan justifikasi posisi filsafat yang terpinggirkan dalam dunia Islam. Sebelum mengamini pendapat tersebut, mari mengingat hal-hal berikut ini:
1. Imam Al-Ghazali menunjuk "para filosof" dan bukan "ilmu filsafat" sebagai sasaran kritik, yang bisa diartikan bahwa yang bermasalah bisa jadi adalah pandangan orang per orang dan bukan konsep filsafat itu sendiri. Bedakan dengan konten di atas yang langsung mengharamkan ilmu filsafat.
2. Sebelum menuliskan Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menulis karya lainnya yang berjudul Maqasid Al-Falasifah atau diartikan sebagai Maksud Para Filosof. Pada Maqasid, Al-Ghazali mengelompokkan fisika, logika, matematika, dan astronomi, juga sebagai bagian dari ilmu filsafat, dan tidak menemukan masalah sama sekali di dalamnya. Hal yang menurutnya bermasalah hanya bagian metafisika-nya saja, dan itu yang kemudian menjadi sasaran kritiknya di Tahafut. Namun intinya, di Maqasid, Al-Ghazali hendak menunjukkan bahwa sebelum memberikan kritik, seyogianya kita memahami dulu dengan sungguh-sungguh tentang maksud para filosof.
3. Pada Tahafut, Al-Ghazali mengritik para filosof dalam beberapa poin. Namun ada tiga poin yang dititikberatkan karena menurut Al-Ghazali, poin-poin tersebut dapat membawa para filosof pada kekufuran. Poin yang dimaksud adalah terkait hal-hal berikut:
a. Tentang hubungan Tuhan dan alam semesta. Para filosof (yang dimaksud Al-Ghazali) memandang bahwa alam semesta ini qadim (tidak diciptakan) dan keberadaannya ada bersama Tuhan. Alasannya, jika Tuhan ada duluan lalu menciptakan alam semesta, berarti ada jarak antara pra-penciptaan dan penciptaan (vacuum), yang menurut para filosof, tidak mungkin. Karena kemudian kemungkinannya menjadi dua: Tuhan menciptakan alam semesta dengan suatu maksud (ini bermasalah, karena artinya Tuhan tunduk pada suatu kehendak) atau Tuhan menciptakan alam semesta tanpa maksud (ini juga bermasalah, karena artinya Tuhan menciptakan sesuatu atas dasar "keisengan"). Al-Ghazali menganggap argumentasi tersebut dapat membawa filosof pada kekufuran. Dalam pandangan Al-Ghazali, hanya Tuhan lah yang bersifat qadim dan Ia menciptakan alam semesta dan sekaligus mengakhirinya. Sementara Tuhan sendiri selalu abadi.
b. Tentang Tuhan yang hanya mengurusi hal-hal yang universal saja. Para filosof menganggap bahwa Tuhan hanya mengurusi hal-hal yang universal saja dan tidak sampai pada hal-hal yang partikular. Argumennya, jika Tuhan mengurusi hal-hal partikular, maka Tuhan tunduk pada ruang dan waktu yang diciptakan-Nya sendiri. Tuhan menciptakan dunia dengan hukum-hukumnya, lalu Ia tidak lagi terlibat di dalamnya, begitu menurut para filosof. Al-Ghazali tidak sepakat, dan menganggap bahwa Tuhan mengetahui dan terlibat dalam segala sesuatu, sampai hal terkecil sekalipun.
c. Tentang jasad dan ruh yang dibangkitkan di hari kiamat. Menurut para filosof, yang dibangkitkan di hari kiamat hanya ruh saja karena jasad sudah rusak. Al-Ghazali tidak setuju dan berpendapat bahwa yang dibangkitkan adalah keseluruhan wujud kita sekarang, termasuk jasad dan ruhnya.
Kritik Al-Ghazali tersebut ternyata cukup fatal dan mempengaruhi pandangan dunia Islam terhadap filsafat. Meski dikritik balik oleh Ibn Rusyd sesudahnya, namun karya Al-Ghazali lebih dikenal secara luas ketimbang sanggahan Ibn Rusyd. Sering disinggung, bahwa Al-Ghazali dianggap "bertanggungjawab" terhadap kemandegan ilmu filsafat di dunia Islam, yang sangat mungkin menjadi landasan bagi konten di atas (meski tidak menyebut Al-Ghazali). Namun kembali pada poin-poin di atas, penting untuk mengingat hal-hal berikut: Pertama, Al-Ghazali mengritik filosof dan bukan ilmu filsafat. Kedua, Al-Ghazali menunjuk sisi baik filsafat dan mencoba menelusuri maksudnya, sebelum mencari celah yang dianggap bermasalah. Ketiga, dalam Tahafut, Al-Ghazali terlihat mengritik filsafat dengan filsafat. Keempat, meski ini berbau ad hominem, tapi bisa juga dijadikan acuan: Al-Ghazali menuliskan Tahafut pada usia yang relatif muda, dengan semangat yang menggebu-gebu untuk mengritik. Pada perkembangannya, Al-Ghazali tidak lagi terlalu "keras" terhadap filsafat dan malah menjadikannya penting sebagai jalan untuk mencapai makrifat.
Sebelum mengharamkan filsafat dan menyetujui bahwa filsafat itu haram, ada baiknya mengingat bahwa dunia Islam pernah begitu dekat dengan filsafat dan para filosof itu berdialektika dengan indah.
Friday, July 31, 2020
Tentang Ta'aruf
![]() |
Sumber gambar: Instagram @dindahw |
Pada sekitar bulan Februari lalu, saya menjadi moderator di acara berjudul Buka Tutup Kepala yang diadakan oleh Komuji Indonesia. Acara tersebut kebetulan mengangkat tema tentang ta'aruf dan narasumber yang dihadirkan merepresentasikan dua perspektif yang berbeda, yaitu Dian Siti Nurjannah (dosen, praktisi terapi) yang mengambil posisi pro ta'aruf dan Dede Muhammad Multazam (pengelola Yayasan Santri Progresif) yang mengambil posisi kontra ta'aruf. Dari diskusi tersebut saya mendapat pencerahan. Pertama, dari argumentasi Dian yang melihat bahwa pacaran itu lebih banyak menimbulkan masalah, dari mulai kemungkinan timbulnya kekerasan, potensi hubungan seksual yang kurang sehat, hingga menyebabkan konsentrasi terpecah dalam studi dan pekerjaan. Dian melihat bahwa dengan ta'aruf, hubungan menjadi lebih sehat dan "terlindungi", baik dari sisi negara maupun agama.
Dede punya pandangan yang berbeda, meski juga setuju bahwa agama memang menyuruh kita untuk menghindari zina. Namun, menurut Dede, sebagai dasar, Al-Qur'an sendiri menyebutkan istilah li-ta'arofu dalam konteks "saling mengenal", yang lengkapnya adalah sebagai berikut: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal." Jadi, tidak ada anjuran atau suruhan secara tegas untuk melakukan ta'aruf, setidaknya dari segi istilah, hal tersebut tidak disebutkan di Al-Qur'an dalam konteks yang dimaksud hari ini. Dede hendak mengatakan, ta'aruf mungkin baik, tapi dasar keagamaannya kurang kuat. Atau, bisa jadi, ta'aruf lebih erat kaitannya dengan kebudayaan tertentu saja, yang memang melihat pernikahan bukan berdasarkan kehendak pasangan yang menjalani saja, melainkan unsur-unsur eksternal lain yang dianggap "lebih paham" (dalam hal ini, misalnya, orangtua atau pemuka agama).
Pertanyaan yang lebih besar, terlepas dari dua pandangan yang berbeda di atas itu tadi, adalah ini: Apakah ta'aruf selalu menghasilkan pernikahan yang baik? Baik dalam artian, langgeng dan bahagia (meski soal bahagia, tentu sulit mengukurnya). Karena jikapun ada diantara pernikahan dengan format ta'aruf ini yang ternyata kurang bahagia dan malah berujung perceraian, apakah data atau informasinya akan kita publikasikan? Mungkin bisa jadi ada hambatan (untuk mempublikasikannya), karena jika sebuah pernikahan dengan format ta'aruf ini gagal, maka yang tercoreng bukan terkait pada pasangan yang mengalami perceraian, melainkan pada ideologi agama itu sendiri.
Selain itu juga, faktor psikologis menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana jika keputusan ta'aruf dilakukan atas dasar hasrat yang menggebu-gebu, dan tidak lewat pertimbangan yang lebih rasional? Bagaimana jika keputusan ta'aruf dilakukan dalam usia yang masih sangat muda, ketika masih dipenuhi ambisi terhadap suatu cita-cita, serta masih kurang matang dalam soal pengalaman hidup secara keseluruhan? Pada titik ini, ta'aruf juga mesti mempertimbangkan aspek-aspek keilmuan lainnya, yang ada di luar agama. Bisa saja, menikah dengan format ta'aruf, tapi kemudian mengalami ketidakbahagiaan karena masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sebab kekurangmatangan berpikir dan hasrat-hasrat yang belum selesai. Menghindari zina, dengan menikah muda, di sisi lain, bisa jadi bumerang.
Jadi, kembali ke soal pernikahan Rey Mbayang dan Dinda Hauw. Itu urusan mereka untuk berta'aruf, meski kemudian berimplikasi pada konten Instagram yang menggelikan karena mengumbar adaptasi mereka satu sama lain (yang seolah-olah hendak mengatakan pada warganet: "Ta'aruf itu asyik loh! saling menyingkap misteri pelan-pelan!"). Tapi jika oleh sebab perilaku selebgram semacam itu, kemudian ta'aruf menjadi populer di kalangan anak muda, mohon pertimbangkan dulu tulisan singkat ini, karena ada bahaya mengintip di balik ta'aruf.
Sunday, July 12, 2020
Tekad Menyebarkan Demotivasi
Setelah menuliskan dan menerbitkannya ke Buruan and Co. (setelah sempat di-PHP oleh Mizan), saya merasa respons terhadap buku ini cukup baik. Penjualannya lebih baik dari buku-buku yang pernah saya tulis dan itu berlangsung dalam waktu relatif singkat. Tawaran diskusi dan bedah buku pun bermunculan - disertai review buku yang juga cukup ramai -, yang membuat saya berpikir bahwa Kumpulan Kalimat Demotivasi mungkin punya sesuatu yang "baru" untuk ditawarkan (pakai tanda kutip karena saya malu menyebut kata baru, dengan kenyataan bahwa tidak ada satupun yang baru di dunia ini).
Tapi mungkin ini benar, bahwa konsep demotivasi harus disebarluaskan. Kelihatannya porsi sinisme, pesimisme, skeptisisme, absurdisme, dan lain-lain filsafat "kurang antusias" yang ada dalam keranjang demotivasi, bagi saya, tidaklah terlalu besar di dalam buku tipis tersebut. Namun, meskipun sedikit-sedikit, demotivasi kelihatannya menjadi suatu jalan tersendiri menuju kebahagiaan (karena dari sejumlah pengakuan, buku ini malah menyenangkan untuk dibaca, meskipun isinya didominasi oleh ajakan menyelami kepahitan hidup). Tentu saja, ini bukan klaim pribadi, melainkan dari beberapa review yang sudah dibaca (mungkin yang tidak berkomentar, tidak merasa bahwa buku ini penting, jadi ya tidak apa-apa).
Jadi, intinya, saya akan coba untuk mengembangkan buku ini ke arah lain. Instagram sudah ada, mungkin ditambah lagi dengan Podcast, Youtube, dan kegiatan-kegiatan darat (tentu jika pandemi sudah selesai). Eh sebentar, malah kelihatan motivasional sekali ya? Sudah saya jelaskan di buku tersebut, bahwa paradoks semantik akan terus terjadi dalam konteks bahasa, sama halnya dengan kaum eksistensialis yang mengatakan bahwa hidup ini tidak ada nilainya. Tapi dengan mereka mengatakan hal tersebut, maka mereka sendiri telah menyebut bahwa sebenarnya ada nilai dalam hidup ini (yaitu bahwa hidup ini tidak ada nilainya). Sama halnya dengan saya yang ingin menyebarkan ide demotivasi, tentu dengan sendirinya saya perlu motivasi untuk melakukannya.
Perkara semantik ini tidak perlu kita larut pada perdebatan di dalamnya. Hal yang lebih penting, ke depannya, adalah istilah demotivasi tidak lagi dianggap sebagai musuh dari motivasi - seolah-olah orang yang terdemotivasi adalah orang beracun yang patut dijauhi -. Hal yang lebih penting adalah istilah demotivasi menjadi penyeimbang bagi motivasi berlebihan (atau kata Romo Setyo di kata pengantar: inflasi motivasi). Sekali lagi, ini bukan pemikiran yang sama sekali baru. Demotivasi, sebagaimana sudah disinggung di atas, adalah ramuan yang terdiri dari bahan dasar sinisme, pesimisme, skeptisisme, dan lain-lain, yang dimasukkan dalam brand baru bernama demotivasi, yang mungkin terdengar lebih populer, karena dihadapkan dengan konsep motivasi yang begitu dominan di dunia kontemporer ini.
Motivasi menjadi agama baru, spiritualitas baru, dan para motivator menjadi nabi baru, spiritualis baru, yang kita tahu, selama mereka ini adalah manusia biasa, tentu saja bisa didekonstruksi dengan segala pendekatan. Tapi banyak dari kita khawatir mengritik mereka, karena ya itu, pengikutnya terlalu banyak, terlalu militan, terlalu fanatik, dan belum apa-apa muncul vonis bagi diri kita, yaitu minimal, sebutan "toxic" . Tentu sinisme, pesimisme, skeptisisme, dan lain-lain itu, bukan pemikiran yang hanya jadi jargon semata. Pemikiran mereka hadir atas suatu renungan panjang atas dunia yang tidak bisa disikapi dengan cara terlalu antusias dan motivasional. Pemikiran mereka, bagaimanapun, tetap bertujuan mulia, yaitu, sekali lagi, kebahagiaan.
Dengan demikian, saya akan terus mengabari dan menyebarkan ide ini, dengan segala cara, dan mungkin akan jadi proyek filsafat saya yang dominan. Saya sudah siapkan ide untuk tulisan mendatang, semacam sekuel dari Kumpulan Kalimat Demotivasi ini, yaitu Sop Kikil, sebagai pelesetan dari buku motivasi yang berjilid-jilid dengan judul Chicken Soup for the Soul. Mungkin banyak orang sukar menerima ide ini pada awalnya, karena terdengar memuakkan. Percayalah, ini memang pahit, tapi mungkin obat manjur abad ke-21, bagi jiwamu yang kering kerontang (penulis harus pede!).
Kelas Isolasi, Kiprahnya Sejauh Ini
Kelas Isolasi adalah proyek yang dibuat oleh Al Nino Utomo, mahasiswa semester tujuh di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, dengan saya, yang diinisiasi di sebuah tempat di wilayah BKR, Bandung, pada 19 Maret 2020. Waktu itu idenya adalah kelas filsafat daring sebagai respons terhadap situasi pandemi yang mulai masuk ke Indonesia pada pertengahan bulan Maret 2020. Tidak banyak yang kami bicarakan saat itu, selain bahwa proyek ini harus segera dimulai, karena di tengah kepanikan orang di masa pandemi, kami harus membuat suatu kelas yang mungkin dapat mengalihkan orang dari kepanikan itu.
Kelas Isolasi, sebagaimana terlihat dari awal pembentukannya, tidak didanai oleh siapapun di luar dan hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan materi berupa artikel, power point, dan audio rekaman kelas, serta sertifikat elektronik. Semua itu dijual di kisaran 10 - 25 ribu saja per materi. Kelasnya sendiri gratis dan kelihatannya akan selalu begitu. Diantara materi tersebut, paling sulit tentu saja membuat artikel. Nino dan saya cukup disibukkan dengan penulisan artikel sekitar dua sampai tiga halaman yang walaupun sedikit, tapi kami lakukan hampir setiap hari. Memang kalaupun tanpa artikel, para peserta sudah diuntungkan dengan kelas gratis dan materi dalam bentuk power point serta audio. Tapi saya katakan pada Nino, kalau tanpa artikel, maka kelas ini akan jadi kelas "bicara bebas" dan "ngalor ngidul" yang tidak ada beda dengan kelas pada umumnya yang mengatasnamakan "bincang santai". Untuk pembicaraan filsafat begini, diharapkan ada pertanggungjawaban ilmiah dan referensialnya, meski kecil-kecilan.
Lantas, bagaimana Kelas Isolasi ini ke depannya? Dengan hampir 2500 followers di Instagram dalam waktu kurang dari empat bulan, kelihatannya animo terhadap kelas ini masih baik - meskipun di beberapa tempat, aktivitas sudah mulai berjalan normal dan maka demikian jumlah peserta tidak sebanyak dulu, saat masih serba dikarantina -. Maka dari itu, kelihatannya kelas ini juga akan dilanjutkan sampai entah kapan, dengan frekuensi yang mungkin sedikit disesuaikan (jika pandemi sudah selesai, mungkin dua atau tiga kali seminggu saja cukup). Terpikir juga untuk melakukan lintas kanal seperti siaran di Youtube dan Podcast, tapi masih belum terealisasi karena sibuk menulis artikel :p.
Pandemi masih akan berlangsung lama di republik ini, dan maka itu kelihatannya Kelas Isolasi masih akan dilanjutkan. Menarik karena kami mengamati, bahwa kelas daring menciptakan kebebasan tertentu yang tidak ada di kelas filsafat luring. Misalnya, di kelas luring, ada semacam sikap malu, segan, khawatir pertanyaan kita konyol, pernyataan kita kurang berbobot, sementara itu, di kelas daring, hal-hal semacam itu luntur karena kita mengakses dari ruang masing-masing, bisa anonim, dan bisa melempar pertanyaan begitu saja tanpa khawatir (bisa saja pertanyaan tersebut konyol, tapi video bisa dimatikan, agar tidak malu). Dengan gerakan ini, semoga semakin banyak orang gemar berfilsafat, yang kemudian berdampak pada berkurangnya pernyataan konyol dan medioker di negeri ini. Amin.
Tuesday, June 23, 2020
Kala Tuhan Memvisualisasikan Dirinya
Wednesday, March 25, 2020
Pandemi dari Sudut Pandang Filsafat
![]() |
Sampul buku La Peste karya Albert Camus |
Friday, February 28, 2020
Demotivasi, Obat Pahit Abad Ke-21
![]() |
Ilustrasi oleh M. Rico Wicaksono (Instagram: @matjan_ningratz) |
Tuesday, February 25, 2020
Dari Diskusi Literasi "Road to Bandung Writers Festival"
Diskusi Literasi #1
Sastra Masa Kini
Narasumber: Zulfa Nasrulloh
Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival |
Diskusi Literasi #2
Sastra Sunda di Era Digital
Narasumber: Deri Hudaya
Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival |
Diskusi Literasi #3
Dunia Digital: Kabar Baik bagi Literasi Anak?
Santi Indra Astuti
Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival |
Diskusi Literasi #4
Sastra dan Ruang Publik
Narasumber: Rosihan Fahmi
Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival |
Sastra dan Kritisisme
Narasumber: Herry “Ucok” Sutresna
![]() |
Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival |
Sastra yang kritis bisa ada hubungannya dengan perubahan, bisa juga tidak ada hubungannya sama sekali. Namun setidaknya, sastra yang kritis, meski disampaikan lewat budaya yang paling massal dan populer sekalipun, tetap dapat diterima sebagai gerbang menuju literatur kritis selanjutnya, dan diharapkan timbul menjadi kesadaran baru yang kuat. Meski demikian, budaya massa tetap mengandung dua sisi mata uang. Sisi pertama, dapat menjadi “gerbong” bagi pemikiran kritis agar dapat diterima masyarakat secara lebih luas – walau tetap harus ditindaklanjuti dengan gerakan aktivasi yang konkrit -. Namun di sisi yang lain, budaya massa menciptakan desakralisasi dan sekaligus menghilangkan “transendensi” dari apa yang dikritiknya. Bisa jadi, pembaca sastra kritis ini menjadi kritis, tapi tidak benar-benar menghayati karena apa yang diterimanya hanya bagian dari histeria massal yang tidak berujung apa-apa.